“available” vs “capable”

Oke, saya ketemu satu topik menarik untuk ditulis.

Pernah dengar kata-kata yang berbunyi “the right man on the right place”??

Biasanya filosofi ini dipakai dalam kejadian sehari-hari dimana sebuah tanggung jawab tertentu harus diisi oleh orang yang tepat sesuai tanggung jawab tersebut. Realitanya adalah tanggung jawab tersebut bisa jadi diisi oleh orang yang tidak tepat atau ketika ada orang yang tepat, orang tersebut tidak bisa mengambil tanggung jawab tersebut karena tidak dapat meninggalkan tanggung jawab lainnya di saat yang bersamaan.

“Available” dan “Capable”

Dalam hidup di sekitar kita, dapat dengan mudah ditemukan pilihan pilihan yang tidak menganut prinsip “the right man on the right place”, memang begitulah realitanya. Misalya, sebuah instansi pemerintahan tiba-tiba dipimpin oleh seseorang yang tidak cakap dalam memimpin sebuah organisasi dengan latar belakang yang sesuai. Atau misalnya, seorang anak yang lebih banyak berinteraksi dengan pengasuhnya dibanding dengan orang tuanya. Dan masih banyak kejadian yang tidak mencerminkan filosofi “the right man on the right place” karena memang sedikit sekali pilihan yang menyediakan seseorang yang “available” dan “capable”. Beberapa kasus bahkan mungkin tidak menyediakan pilihan sama sekali. Dan jika dihadapkan dengan pilihan diantara seseorang hanya memeuhi kriteria “available” dan seseorang yang hanya memenuhi kriteria “capable”, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, diri kita akan cenderung menjatuhkan pilihan kepada yang “available”, percaya tidak percaya.

Kita sama-sama sepakat bahwa dari setiap pilihan yang diambil, pada akhirnya, tetap harus diarahkan agar memenuhi kedua kriteria tersebut, yaitu “available” dan “capable”. Namun seolah-olah diri kita merasa sudah menyelesaikan masalah ketika hanya salah satu kriterianya saja yang terpenuhi. Kita akan cenderung untuk merasa lega setelah posisi staff kita yang kosong telah diisi oleh seseorang. Orang tua akan cenderung lebih tenang setelah tahu bahwa dirinya sudah mendapat babysitter untuk mengasuh anak. Atau pada kasus serupa, beberapa orang lebih senang menghilangkan stressnya dengan menjatuhkan pilihannya pada minuman keras, judi, dan narkoba daripada olahraga, tidur, atau rekreasi. Karena mencari staff yang sesuai kriteria sulit. Karena mencari pengasuh anak yang berpendidikan tinggi lebih sulit. Karena lari ke minuman keras, judi, dan narkoba lebih mudah. Pilihan-pilihan dengan karakteristik “available” cenderung akan lebih banyak dipilih daripada karakteristik “capable” karena pilihan “available” tampak memerlukan effort yang lebih sedikit.

Sah-sah saja memilih yang hanya available atau capable

Meskipun hanya memiliki pilihan yang hanya memenuhi 1 dari 2 kriteria, keputusan tetap harus dibuat. Dalam konteks organisasi, jika menjatuhkan pilihan kepada seseorang yang “capable” namun tidak “available”, organisasi tersebut bisa saja melakukan negosiasi agar orang tersebut dapat menjadi “available” dan bersedia menyisihkan waktunya untuk organisasi, mungkin dengan cara menawarkan imbalan gaji yang lebih tinggi, kondisi yang lebih baik, atau nilai-nilai lainnya. Sedangkan jika menjatuhkan pilihan kepada seseorang yang “available” namun tidak “capable”, organisasi dapat meningkatkan kapasitas seseorang tersebut melalui pelatihan, mentoring, sertifikasi, atau pendidikan lainnya agar orang tersebut menjadi “capable”. Pada konteks ini, effort yang diberikan pada orang yang “available” menjanjikan hasil yang lebih mudah dan pasti.

Namun lain halnya ketika konteks diletakkan dalam tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya. Pada banyak kasus, terutama di zaman post-modern ini, sosok orang tua adalah orang yang “capable” namun seringkali tidak “available” dihadapan anak-anaknya. Di sisi lain, pengasuh atau babysitter juga tidak mungkin ditingkatkan kapasitasnya menjadi “capable” karena sampai kapanpun tugas dan fungsi orang tua tidak akan pernah dapat digantikan oleh siapapun. Hal ini mengingatkan kita pada hal yang lebih luas, yaitu tentang tanggung jawab moral dan sosial. Menambahkan faktor “available” seharusnya menjadi faktor yang mudah dan sederhana. Inilah tantangan zaman post-modern. Ketika berbicara tentang tanggung jawab sosial, sebagian besar dari kita pastilah “capable”, namun sebuah pertanyaan berkecamuk dalam diri ini. Sudahkah kita “available” untuk orang-orang di sekitar kita?

About farisfirmansyah

interested in entrepreneurship, human development, technology innovation, travelling & culinary =)

Tinggalkan komentar